Mengenang Papi

Tulisan ini mestinya diunggah dua hari lalu, bertepatan dengan Imlek, namun karena kesibukan, baru hari ini saya sempat menulisnya. Kenapa mesti Imlek? Ndak ada alasan khusus sih. Hanya memang biasanya momen-momen tertentu digunakan untuk mengenang orang-orang dekat yang telah pergi.

Papi, demikian beliau mengajar saya memanggilnya, memang telah dipanggil pulang ke rumah Bapa pada 1 November 2009, setelah 15 tahun bergulat dengan stroke yang dideritanya. Imlek kemarin kami datang ke makam untuk mengenang sosoknya dan membersihkan makamnya.

Papi adalah seorang pekerja keras dan memiliki bakat kental seorang marketing. Apa saja yang ada di tangannya bisa jadi barang dagangan. Ketika saya masih kecil, pekerjaan Papi adalah berdagang kalkulator dan mesin ketik. Papi kulakan berbagai “gadget” itu dari Jakarta dan dijual di daerah.

Ketahuanlah dari mana datangnya bakat saya ngoprek gadget :mrgreen:

Bisnis Papi mulai lesu di pertengahan 80an. Maka Papi memutuskan banting setir, tetapi bukan bentuk usahanya yang berganti, melainkan barang yang didagangkan. Kali ini Papi berjualan perhiasan emas intan.

Perhiasan diambil dari beberapa sumber di Jogja dan “dijajakan” di kota-kota lain, bukan ke konsumen langsung melainkan ke toko mas. Setelah melalui berbagai uji coba, akhirnya ketahuan kalau pasar potensial ada di Jawa Tengah bagian utara hingga ke ujung timur Jawa Timur.

Saat bekerja, Papi hanya ditemani seorang sopir merangkap asisten. Mereka gantian menyetir, terutama bila lokasi yang dituju jauh, Banyuwangi misalnya.

Sesekali, bila waktu libur sekolah, saya diajak Papi untuk ikut berdagang. Kebanyakan saya diajak bila lokasi yang dituju adalah Jawa Tengah bagian utara, sebab kami memiliki banyak saudara yang tinggal di Kudus. Sebenarnya alasan utamanya sih supaya saya ditinggal saja di rumah sepupu di Kudus, lalu Papi bersama sopirnya itu pergi berdagang. Nanti saya dijemput kembali bila sudah selesai. :mrgreen:

Tapi toh tak jarang saya ikut juga, datang dari satu toko mas ke toko mas yang lain. Maka saya tahu daerah-daerah pelosok di seputaran Kudus, seperti Bae, Welahan, Jekulo, Undaan, Dawe, Mayong, dan nama-nama aneh lainnya.

Satu hal yang saya sayangkan, pola kerja seperti itu membuat pola makan Papi jadi tidak teratur dan menunya pun tak sehat. Itu yang membawanya terkena stroke pada usia yang relatif masih muda, 44 tahun.

Semua sudah berlalu. Kini saya berharap, bakat berdagang Papi itu menitis ke diri saya. I have his blood running in my veins, right? Maklum, saya sedang belajar jadi pengusaha, walau sudah tentu tidak akan mengikuti role model Papi yang berdagang berkeliling.

Follow me on social media:

Similar Posts

17 Comments

  1. Mayong dan welahan itu bukan daerah pelosok Kudus, tp masuk Kab, Jepara om 🙂

    kl kata orang buah kelapa tidak jatuh jauh dr pohonnya kan? 🙂

  2. Nah, akhirnya ada cerita ini. Tempo hari saya bingung waktu Oom Yahya menyebut Bae dan sekitarnya karena ikut ayahanda, karena sebelumnya yang pernah saya baca entah di mana ayahanda berjualan kalkulator.

    Tentang mengudap, yah memang itu godaan bagi orang yang berkeliling. Makanya banyak kedai di kota kecil, terutama kedai masakan cina, memuat bermacam kalender dari verkoper, canvaser, salesman, dsb. 😀

    Di Kudus, soto Pak Denuh tetap favorit saya. 🙂
    Begitu juga swikee di desa Bae itu.

    Secara khusus, salah satu sisi yang menarik dari kota-kota kecil adalah interaksi keturunan Cina dengan lainnya (saya gak suka istilah “nonpri” dan “pri”). Biasanya lebih guyub. Makanya kalau ada pemilik toko di pasar meninggal, maka yang melayat juga bakul-bakul pasar. Begitu juga kalo bakul pasar punya gawe, orang toko juga njagong. 🙂

    1. Betul Paman, di desa itu kebanyakan masih guyub. Waktu mendengar kabar Papi terkena stroke, banyak tukang parkir dan pemilik warung di seputar toko mas langganan Papi yang menyatakan kesedihannya karena tak mampu datang ke Jogja untuk sekedar menengok.

    1. Went for first interview and was pertty nervous. Had three appointment times to pick from. Probably thirty applicants in my group, mostly young people many students. I assume there were probably about 100 applicants total for the day for one store. Of my group, most stayed quiet. Some piped up often. All the Apple team members were cordial, I would not call them friendly (bad actors), but deadly serious about their recruiting mission. Not one of them smiled, one could describe all as forced smiles. One looked like she could scare off wild animals in the woods. From all, I sensed a superiority vibe. I participated and felt pertty good about my performance as I am not a naturally outgoing person. But at the end of the day, it’s not whether you’re a borna0sales person, how many Apple products you have, how long you’ve been using their products, or how much you know. All of those qualities you would think would give you an edge Not! Some knowledge of Apple products would be helpful, but not necessary. Being a macfanboy/girl won’t help if you are one, keep it to yourself. If they didn’t make a connection with you on first contact, it’s downhill the rest of the way. If you’re the type who instantly makes friends, you’ll do very well. Yes, absolutely, it’s biased and subjective. They want natural exuberance and a helpful attitude. You show off those attributes in the following two exercises. 1) We are paired off with the person sitting next to us. You interview them, listen to their story, and then introduce them to the room, and he or she does the same for you. And so it goes around the table. Note: sitting next to the wrong person can make or break you, as each Apple team person scrutinizes each of us with zeal and a clip board. 2) We are separated into groups and enact a customer-specialist role play. Again, everybody is monitored closely for participation and performance. After we said our good-bye’s, I left feeling excited and confident. But it was not to be SUBJ: Thank you for your interest in Apple Retail:a0Thank you for your interest in opportunities with Apple Retail. As you can imagine we received a large number of qualified applicants for this role. At this time we have chosen to move forward with other candidates that meet the needs of today. I want to personally thank you for your interest and for investing the time to speak with us about this opportunity.a0Thank you again for your time and interest in Apple. We wish you the best in your future endeavors.a0Sincerely,a0Apple A rather terse form-email slamming the door in your (my) face. Made me feel like two cents waiting for change or switching to the darkside. a0My suggestions to you, if you get this far in the Apple interview postings of which there are too many DON’T read anymore of these sites looking for answers. I think they actually could be harmful. Just be yourself, be warm and friendly, be quick to smile, don’t look desperate, and don’t show off. You don’t get a second chance in this process; However I have read how one fellow tried three different times and finally got the job. Practice makes perfect? You can try again, but I won’t. My mistake? I tried TOO hard. As much as I love Apple, I can’t pretend to be warm and smiley. Heck, Steve Jobs wouldn’t get the job either. Apple products are cool tools, but I am not, and I won’t stop promoting Apple on the outside. Good luck in your own Apple effort.a0

    1. Keknya zaman sudah berubah, Fan :mrgreen:
      Lagipula “ruang kosong” yang ditinggalkan Papi sudah ada yang mengisi. Dan sempat terdengar kabar beberapa dari mereka ada yang mengalami perampokan di jalan, sesuatu yang saya bersyukur tidak pernah dialami oleh Papi dulu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *