Gerakan Masyarakat Cerdas Menggunakan Obat

Gerakan Masyarakat Cerdas Menggunakan Obat – Obat dan racun itu cuma beda tipis, hanya masalah dosis saja yang membedakannya. Salah dosis, alih-alih menyembuhkan malah menjadi racun yang bukan tak mungkin berakibat fatal.

Oleh karena itu, kesadaran masyarakat akan penggunaan obat yang baik dan benar harus selalu digalakkan dan informasi-informasi mengenai penggunaan obat juga selalu didengungkan.

Pada hari Selasa tanggal 21 November 2017 yang lalu, Kemenkes mengundang beberapa orang blogger Jogja dan memberikan informasi mengenai penggunaan obat yang tepat.

Kemenkes menyadari bahwa blogger memiliki peran cukup penting dalam menyebarkan informasi mendidik di tengah masyarakat, karena itu dengan memberikan bekal informasi kepada blogger, diharapkan para blogger tersebut dapat menyebarkannya kembali kepada para “follower”-nya.

Dalam upaya mendidik masyarakat dalam menggunakan obat secara benar, ada beberapa istilah yang dipopulerkan. Saya akan bahas satu persatu.

Gerakan Masyarakat Cerdas Menggunakan Obat

 

DAGUSIBU

Istilah DAGUSIBU merupakan singkatan dari Dapatkan, Gunakan, Simpan, Buang. Empat kata ini merupakan pengingat tentang cara penggunaan obat yang benar.

Kata “Dapatkan” mengingatkan kita agar mendapatkan obat selalu dari tempat yang tepat dan legal, misalnya apotik, rumah sakit, puskesmas, dan klinik. Jika hendak membeli dari toko obat non apotek, pastikan toko obat tersebut memiliki izin resmi.

Saat menerima obat, pastikan kemasan obat tersebut tidak dalam keadaan rusak dan belum kadaluwarsa.

Jika membeli obat sendiri, pastikan juga obat tersebut merupakan obat bebas (ada tanda bulatan hijau) atau obat bebas terbatas (ada tanda bulatan biru). Jika diharuskan menggunakan resep (obat yang memiliki tanda bulatan merah dengan huruf K di dalamnya, K = Keras), patuhlah, periksalah ke dokter terlebih dahulu untuk mendapatkan resep.

Jangan mentang-mentang sedikit punya pengetahuan akan obat dan kenal dengan pemilik apotek atau toko obat, lalu berani membeli obat yang seharusnya hanya bisa dibeli dengan resep.

Juga jangan sampai mendapatkan obat dari tetangga yang kebetulan memiliki sakit yang “sama”. Sebab gejala penyakit yang sama belum tentu berarti memiliki sakit yang sama dan kalaupun toh sama, belum tentu dosis yang harus diminum juga sama.

Kata “Gunakan” mengingatkan kita untuk menggunakan obat secara tepat, sesuai dengan indikasi, dosis, aturan pakai, dan cara pemberian.

Jika terindikasi sakit flu, tentu tak tepat jika minum obat sesak nafas.

Jika dosisnya sekali minum satu sendok teh, tentu tak tepat jika minum satu sendok makan.

Jika aturan pakainya 3x sehari, ya jangan diminum hanya sekali sehari atau malah 4x sehari. Frekuensi 3x sehari itu juga sebaiknya setiap 8 jam (khusus untuk antibiotik bukan lagi “sebaiknya” namun “harus”), bukan menyesuaikan jam makan.

Berdasarkan pengalaman saya, waktu yang cukup ideal untuk mengkonsumsi obat 3x sehari itu jam 06.00, jam 14.00, dan jam 22.00.

Jika aturannya disebutkan sesudah makan, bukan berarti tepat selesai makan lalu minum obat karena itu artinya tetap saja bersama makan. Sesudah makan berarti perut tidak boleh kosong saat mengkonsumsi obat.

Jika cara pemberiannya diteteskan di hidung, tentu tak boleh diteteskan di telinga, apalagi mata. Mereka yang mengalami kesulitan menelan obat, sebaiknya meminta kepada apoteker untuk memberikan obat dalam bentuk lain, misalnya sirup. Karena obat yang seharusnya ditelan belum tentu memberikan efek yang sama bila digerus dulu sebelum diminum.

Kata “Simpan” mengingatkan kita untuk menyimpan obat dengan benar. Perhatikan baik-baik petunjuk pada kemasan tentang cara menyimpan obat, misalnya jangan sampai terkena sinar matahari langsung, disimpan pada suhu tertentu, pada kelembaban tertentu, dan lain-lain.

Penyimpanan obat yang salah akan berakibat pada kerusakan obat atau terganggunya stabilitas obat, sehingga meskipun belum kadaluwarsa, bisa saja sudah tidak memberikan efek menyembuhkan, malahan bisa membawa penyakit yang lain.

Kata “Buang” mengingatkan pada kita tentang cara membuang obat dengan benar. Obat yang sudah rusak atau kadaluwarsa harap dibuang dengan dihancurkan terlebih dahulu.

Obat yang memiliki kemasan sachet atau strip, disobek dulu kemasannya dan dibuang isinya, bila perlu dihancurkan terlebih dahulu.

Obat cair sebaiknya diencerkan dulu lalu dibuang ke saluran pembuangan air seperti wastafel atau jamban.

Bila perlu, saat melakukan proses pembuangan obat, gunakan masker dan sarung tangan, khususnya untuk obat-obat keras.

 

Ayo Tanya Lima O

Saat mendapatkan obat, ada baiknya untuk membiasakan diri menanyakan kelima hal berikut ini:

 

1. Obat ini apa nama dan kandungannya?

2. Obat ini apa khasiatnya?

3. Obat ini berapa dosisnya?

4. Obat ini bagaimana cara menggunakannya?

5. Obat ini apa efek sampingnya?

 

Dengan membiasakan diri untuk menanyakan kelima hal tersebut, diharapkan masyarakan akan semakin meningkat kesadarannya dalam menggunakan obat secara tepat.

Sudah tidak zamannya lagi pasien hanya mengangguk-angguk saja saat diberikan resep oleh dokter atau saat menebus obat di apotek.

Bertanyalah kepada dokter mengapa Anda harus mengkonsumsi obat itu dan bertanyalah kepada apoteker di apotik 5 hal tadi.

Jika hal ini dibiasakan, akan memberikan efek yang sama-sama baik. Masyarakat akan semakin sadar terhadap penggunaan obat yang tepat, dokter akan semakin selektif dan waspada saat memberikan obat, apoteker akan selalu terpanggil untuk memberikan informasi yang sedalam-dalamnya mengenai obat yang akan dibeli pasien.

 

Tentang Antibiotik

Penggunaan antibiotik merupakan hal yang sangat diperhatikan secara serius olah para praktisi kesehatan. Mengapa begitu?

Karena bakteri yang hendak dibasmi dengan antibiotik sebenarnya merupakan makhluk yang “cerdas”. Mereka bisa berkembang sedemikian rupa sehingga akhirnya kebal (resisten) terhadap suatu jenis antibiotik.

Semakin sering bakteri terpapar antibiotik, semakin banyak kesempatan yang dia miliki untuk mempelajari kekuatan antibiotik dan bagaimana cara menghindari atau menahannya.

Oleh karena itu, janganlah terlalu mudah mengkonsumsi antibiotik. Sakit batuk, pilek, muntah-muntah, diare tanpa darah, itu semua tidak serta merta menunjukkan harus diobati dengan antiobiotik.

Perlu penyelidikan lebih lanjut apakah penyakit-penyakit itu memang disebabkan oleh bakteri atau bukan.

Efek samping yang bisa didapat dengan mengkonsumsi antibiotik sembarangan di antaranya adalah:

·         Gangguan hati atau ginjal.

·         Mempengaruhi efektivitas obat lain.

·         Reaksi hipersensivitas.

·         Gangguan kehamilan/janin.

·         Munculnya bakteri super.

 

Jika sampai muncul bakteri super yang kebal atau resisten terhadap antibiotik (AMR = Antimicrobial Resitance), dengan apakah penyakit yang diakibatkan oleh bakteri tersebut bisa diobati?

Fakta menunjukkan bahwa pada tahun 2013, kematian akibat AMR mencapai 700.000. Jika tidak dikendalikan, kematian akibat AMR bisa mencapai angka 10.000.000 (sepuluh juta) pada tahun 2050.

Karena itu, bijaklah menggunakan antiobiotik. Sebagai pasien, Anda berhak bertanya bila diberi antibiotik, apakah memang perlu. Sebagai dokter, hendaknya tidak “ringan tangan” memberikan antibiotik. Sebagai apoteker, hendaknya waspada dengan setiap resep yang masuk, perhitungkan dengan matang apakah memang antibiotik dibutuhkan dalam kasus tersebut.

Dengan menggunakan antibiotik secara bijak, mudah-mudahan resistensi bakteri tidak mudah tercapai dan munculnya bakteri super tidak terjadi lebih cepat daripada penelitian untuk menghasilkan obat-obatan baru.

Follow me on social media:

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *