Kesalahpahaman Dalam Sebuah Krupuk

Alkisah di sebuah negeri antah berantah sepasang suami istri baru saja melewatkan masa bulan madu mereka. Sama seperti halnya kebanyakan pasangan suami istri muda yang lain, sang suami kerja dengan model PPPPPP (Pergi Pagi Pulang Petang Penghasilan Pas-Pasan), sang istri ada di rumah, beres-beres dan masak. Setiap kali sang suami pulang, minuman dan masakan racikan si istri sudah tersaji di rumah. Walaupun a la kadarnya, mereka makan dengan nikmat.

Kebetulan, sepasang suami istri ini punya makanan favorit yang sama, yaitu krupuk udang. Bedanya, sang suami suka krupuk udang yang tebal, sedangkan si istri suka yang tipis. Karena cintanya pada sang suami, si istri selalu menyajikan krupuk udang tipis kepada suaminya. Dia berpikir “ah, biarlah aku mengalah dengan makan krupuk yang tebal, sedangkan krupuk yang enak – yang tipis – aku sajikan untuk suamiku”.
Namanya pengantin baru, si suami OK-OK saja mendapat bagian krupuk yang tipis. Tapi lama-lama dia berpikir juga “wah, sialan nih, bagian yang enak dia embat terus, sementara aku diberi yang tidak enak”.

Suatu kali, sepulang kantor, sang suami ngambek. Dia tidak mau makan krupuk yang disiapkan istrinya. Istrinya heran juga melihat tabiat suaminya.

“Lho mas, kenapa krupuknya gak dimakan? Tumben, khan biasanya paling suka sama krupuk udang”. Dengan mencoba menahan emosi yang menggelegak di dada, sang suami berkata “Habis kamu curang sih, krupuk yang tebal kamu ambil, sementara aku diberi yang tipis, yang gak enak”.

Hening sesaat, lalu meledaklah tawa si istri. “Oalah, mas, mas. Ternyata selama ini dirimu suka yang tebal tho. Maksudku itu sebenarnya baik lho mas, karena aku suka yang tipis, maka yang tipis itu aku persembahkan untukmu. Lha kalo tau begini khan malah pas to mas, aku makan yang tipis, dirimu makan yang tebal”.

Lalu mereka mesra lagi dan hidup bahagia sampai selama-lamanya.

***

Moral cerita di atas adalah: komunikasi itu penting. Bahkan hal yang dianggap sepele seperti krupuk pun berpotensi menimbulkan kesalahpahaman. Si istri dalam cerita di atas memiliki maksud baik, tapi tanpa dikomunikasikan, hasilnya tetap tidak baik.

Kalau krupuk saja berpotensi menghasilkan kesalahpahaman, apalagi sebuah peraturan atau kebijakan. Pembuat peraturan atau kebijakan sebaiknya jangan dengan mudah berlindung di balik kata “demi kebaikan rakyat”, karena fakta berbicara bahwa amat sangat sering kebijakan pemerintah suatu negara dikecam habis-habisan oleh rakyatnya sendiri.

Follow me on social media:

Similar Posts

14 Comments

  1. “Bedanya, sang suami suka krupuk udang yang tebal, sedangkan si istri suka yang tipis”
    skip…skip…skip
    “Oalah, mas, mas. Ternyata selama ini dirimu suka yang tipis tho. Maksudku itu sebenarnya baik lho mas, karena aku suka yang tebal, maka yang tebal itu aku persembahkan untukmu. Lha kalo tau begini khan malah pas to mas, aku makan yang tebal, dirimu makan yang tipis”

    Oooo… akhirnya keterusan to, istrinya jadi berubah suka yang tebal???

    Perlu dibuat undang-undang perkerupukan nasional, tentang tebal tipis kerupuk, tentang hak suami memperoleh kerupuk yang lebih tebal dari istri…

  2. Masalah komunikasi politik, tuh.. ada ahlinya, si aa efendi ghazali yang bujangan itu… ๐Ÿ˜€

  3. Mas Yahya, ada titipan comment dari temen :
    Kok gak tau kalo suaminya suka yg tebal?
    wah…kurang mendalami ini si istri pas waktu pacaran…

    moralnya : pelajari dulu segala sesuatunya dengan detail, baru ambil keputusan.

  4. #10
    Wah, yang komentar tu dah menikah belum? Walau udah pacaran berapa tahun pun dan sudah terbuka seperti apapun, tetap saja belum tinggal serumah. Kalau sudah menikah dan tinggal serumah, pasti ada saja hal-hal baru yang ditemukan.

  5. Apik Mas.

    Si istri melihat “hal yang baik” dari kacamatanya sendiri, dan menganggap hal tersebut akan baik juga untuk suaminya.

    Salam krupuk!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *